Sidoarjo cakrajatim.com. Jawa Timur tidak bisa menganggap enteng datangnya musim kemarau tahun 2023 ini. Kemarau ini ditandai suhu terik membakar bumi, akibat pengaruh El Nino, yang berpuncak pada Agustus-September ini.
Dampak terburuk yang dirasakan antara lain merosotnya produksi pertanian, terutama beras. Bagi Jawa Timur sebagai penyangga stok beras nasional, selain Jawa Barat dan Bali, diramalkan turun hasil panennya. Ini disebabkan suhu panas yang akan menekan sumber-sumber air di sungai, waduk, maupun persedian air tanah. Bila panen tidak maksimal, harga beras pun dikhawatirkan goyah.
Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa menyatakan waspada terhadap bencana kekeringan.
Kekeringan di Jawa timur tahun ini berpotensi terjadi di 27 Kabupaten/kota meliputi 1.617 dusun, 844 desa/kelurahan dan 221 Kecamatan. Penduduk yang terdampak diperkirakan mencapai 1,7 juta atau 655 ribu KK. Dari 844 desa/kelurahan kekeringan itu 500 desa di antaranya tergolong kering kritis, 253 kering langka dan 91 kering langka terbatas.
Jatim menyiapkan tim gabungan dari BNPB, BPBD, sinergi Pemkab dan Pemkot, serta komunitas relawan. Beberapa desa sudah membutuhkan droping air bersih, dan 38 daerah menerima 350 buah tandon dan 10.000 buah Jerigen. Air bersih dikirimkan ke Kabupaten Situbondo dan
Kabupaten Blitar yang mengalami kerusakan saluran air di hulu Sungai Lekso di Desa Tangkil Kecamatan Mlingi.
Kemarau Awal
Sementara itu Kepala Stasiun Klimatologi Klas II Jawa Timur Anung Suprayitno menjelaskan, daerah-daerah yang paling awal memasuki musim kemarau antara lain sebagian wilayah utara antara lain Kabupaten Tuban, Lamongan, Sampang, Pamekasan dan Sumenep. Kemudian juga di sebagian wilayah Kabupaten Probolinggo, Situbondo dan Banyuwangi. Sekitar 60,8 persen wilayah di Jatim sebenarnya sudah mulai kering sejak April , lebih awal dari normalnya.
Kabupaten Malang dan Lumajang bagian barat daya akan menjadi area paling akhir memasuki musim kemarau. Jadi kemarau di Jatim berpeluang lebih panjang karena datangnya lebih awal. Puncak kemarau propinsi lumbung padi ini terjadi Agustus ini meskipun sejak Juli lalu kemarau sudah dirasakan di Bojonegoro dan Banyuwangi. Sebaliknya ada yang lebih lambat terjadi September seperti Kediri, Tulungagung, Blitar dan sekitarnya, yang justru berada di sepanjang Kali Brantas.
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Maritim Tanjung Perak Surabaya mengungkapkan dampak El Nino yang terjadi di Samudera Pasifik, merupakan pemanasan Suhu Muka Laut (SML) di atas kondisi normal. Dampaknya, berkurangnya curah hujan yang memicu kekeringan. Kemarau ini akan lebih kering dibanding sebelumnya. Suhu udara bakal mencapai 33-34 derajat celcius.
Produksi Beras
Produksi beras Jatim pada bulan Juni lalu mencapai 650.751 ton dengan luas panen 183.771 hektar. Ini meningkat signifikan dibandingkan produksi Mei yang hanya mencapai 323.243 ton dengan luas panen 89.767 hektar.
Produksi Gabah Kering Giling (GKG) bulan Juni mencapai 1.015.212 ton, sedangkan Mei hanya separonya, 504.279 ton. Sementara itu konsumsi bulan Juni mencapai 261.338 ton sehingga surplus 389.413 ton. Banjir lahar dingin di tidak terlalu berdampak terhadap produksi padi di Jatim, karena lahan yang rusak 196 hektar dan puso (gagal panen) 183 hektar.
Sebanyak 732 hektar sawah di Jatim mengalami kekeringan. Dari jumlah ini, 15 hektar tanaman padi di Lamongan dan Jombang gagal panen atau puso. Lamongan puso 13 hektar, Jombang hanya 2 hektar, akibat kekurangan air irigasi. Sebaliknya di Pamekasan ada 23 hektar sawah yang kekeringan, berhasil pulih dan padi tidak sampai puso, berkat pengairan yang cepat.
Para petani sebenarnya bisa mengikuti asuransi usaha tani padi, agar ketika terjadi bencana mereka bisa melakukan klaim. Dananya bisa menjadi tambahan untuk ongkos produksi pada masa tanam selanjutnya. Atau mengganti penanaman palawija yang lebih membutuhkan sedikit air. (dya)