Sidoarjo. Cakrajatim.com
Masalah bangsa ini bukan sebatas stunting, sebab ada beragam indikator kesehatan gizi anak balita bagi pertumbuhan dan perkembangannya. Stunting adalah keadaan anak disebabkan kekurangan gizi kronis. Selain itu ada anak kekurangan gizi atau wasting, kekurangan zat gizi mikro seperti anemia, dan kelebihan gizi atau obesitas. Selain kasus-kasus stunting, masalah wasting juga tidak sedikit.
Dikutip dari publikasi Unicef, seribu hari pertama kehidupan seorang anak adalah periode emas untuk mencegah kedua jenis kekurangan gizi. Asupan gizi harus dijaga, karena gizi buruk butuh perawatan segera agar dapat bertahan hidup, memulihkan pertumbuhan dan perkembangannya.
Tanda- tanda fisik anak yang mengalami wasting tampak sangat kurus. Berat badan rendah tidak sebanding dengan tinggi badannya. Ini ditandai dengan lingkar lengan atas kecil. Wasting biasanya terjadi ketika asupan diet anak tidak memadai, baik dari segi kualitas maupun kuantitas, selain karena kasus-kasus infeksi.
Selain mengganggu pertumbuhan fisik dan psikis, wasting juga dapat berakibat fatal berupa kematian. Bayi dengan gizi buruk berisiko meninggal 12 kali lebih tinggi dibandingkan dengan anak bergizi baik. Pada anak stunting tinggi badannya lebih pendek bila dibandingkan anak seusianya, sedangkan anak wasting tidak. Toh masalahnya sama, wasting dan stunting adalah problem gizi yang saling terkait.
Selain risiko kematian yang tinggi, anak wasting yang tidak ditangani dengan baik, berisiko 3 kali lebih tinggi menjadi stunting. Sedangkan anak stunting berisiko 1,5 kali lebih tinggi menjadi wasting dibandingkan dengan anak gizi baik. Risiko kematian akan meningkat jika anak mengalami wasting dan stunting secara bersamaan.
Jember Tertinggi
Hasil Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) Kementerian Kesehatan yang dijasikan ‘Kata Data’ menunjukkan, prevalensi balita stunting di Jawa Timur mencapai 19,2% pada 2022. Provinsi ini menduduki peringkat ke-25 dengan prevalensi balita stunting tertinggi di Indonesia tahun lalu. Angka itu berhasil dipangkas sebesar 4,3 poin, dari tahun 2021 yang mencatat 23,5%.
Di Jatim terdapat 20 kabupaten/kota dengan prevalensi balita stunting di atas rata-rata angka provinsi. Sisanya, 18 kabupaten/kota di bawah angka rata-rata prevalensi balita stunting Sulawesi Selatan. Kabupaten Jember tertinggi mencapai 34,9%. Naik 11 poin dari prevalensi tahun 2021 sebesar 23,9%. Sebaliknya Kota Surabaya terendah di wilayah Jawa Timur, yakni hanya 4,8%.
Secara lengkap kondisi prevalensi balita stunting di setiap kabupaten/kota di Jatim pada 2022:
Kabupaten Jember: 34,9%, Bondowoso: 32%, Situbondo: 30,9%, Ngawi: 28,5%, Lamongan: 27,5% , Bangkalan: 26,2%, Kota Batu: 25,2%, Tuban: 24,9%, Bojonegoro: 24,3% , Lumajang: 23,8%, Kota Probolinggo: 23,3%, Malang – Kepanjen: 23%, Jombang: 22,1%, Kediri: 21,6%, Sumenep: 21,6%, Kota Pasuruan: 21,1%, Pacitan: 20,6%.
Sedikit di bawah Pacitan adalah kabupaten Pasuruan: 20,5%, Nganjuk: 20%, Trenggalek: 19,5%, Banyuwangi : 18,1%, Kota Malang: 18%, Kabupaten Madiun: 17,6%, Tulungagung: 17,3%, Probolinggo: 17,3%, Sidoarjo: 16,1%, Magetan: 14,9%, Blitar: 14,3%, Kota Kediri: 14,3%, Ponorogo: 14,2%, Kota Blitar: 12,8%, Kabupaten Mojokerto: 11,6%, Gresik: 10,7%
Selanjutnya prestasi baik dicatat Kota Madiun: 9,7% dan Kota Mojokerto: 8,4%, Kabupaten Pamekasan: 8,1%, Sampang: 6,9% dan yang terendah adalah Kota Surabaya: 4,8%
Salah satu faktor tingginya angka stunting di sejumlah daerah di Jatim itu karena jamban yang tidak layak. Disusul kurangnya air bersih. Bangkalan tidak memiliki jamban layak. Sebaran yang tinggi memiliki ciri lingkungan yang rendah. Air bersih di Lumajang belum tercukupi dengan baik. Daerah yang air bersihnya kurang seperti Pacitan karena banyak pegunungan, angka stuntingnya rendah.
(dya,hd)