Cakra – Dunia: Pada hari pertama menjalani tugas mengajar barunya di pusat penahanan pemerintah di Xinjiang, Qelbinur Sidik mengatakan dia melihat dua tentara membawa seorang perempuan muda Uighur keluar bangunan dengan tandu.
“Tak ada cahaya kehidupan dalam wajahnya. Pipinya pucat, dia tak bernapas,” ujar Sidik, dikutip dari CNN, Minggu (21/2).
Sidik adalah mantan guru SD, mengatakan dia dipaksa menghabiskan beberapa bulan mengajar di dua pusat penahanan di Xinjiang pada 2017.
Seorang polwan yang bekerja di kamp itu kemudian mengatakan kepadanya perempuan itu meninggal karena pendarahan hebat, namun polwan itu tak mengatakan penyebabnya. Itulah cerita pertama dari banyak cerita yang dikisahkan polwan itu kepada Sidik selama tiga bulan dia mengajar di bangunan yang dijaga ketat itu, tempat di mana para perempuan ditahan.
.
Menurut Sidik, polwan itu mengaku ditugaskan untuk menyelidiki laporan pemerkosaan di tempat itu oleh atasannya, meskipun CNN tidak memiliki bukti atas klaim tersebut. Namun, Sidik mengatakan apa yang didengar dan dilihatnya sendiri begitu meresahkan hingga membuatnya sakit.
Pelecehan sistematis
Tuduhan Sidik ini mirip dengan pengakuan para mantan tahanan yang telah mengungkap pemerkosaan dan pelecehan seksual sistematis di dalam kamp penahanan.
Kesaksiannya adalah kisah langka dari pengalaman langsung pekerja di dalam pusat penahanan, di mana pemerintah AS menuduh China melakukan genosida terhadap Uighur dan minoritas Muslim lainnya melalui kampanye penindasan penahanan massal, penyiksaan, pengendalian kelahiran paksa, dan aborsi.
Pemerintah China telah membantah dugaan genosida, dan dalam sebuah pernyataan kepada CNN disampaikan “tak ada yang namanya ‘pelecehan seksual sistematis dan penyiksaan terhadap perempuan’ di Xinjiang.”
Namun demikian, Sidik mengatakan polwan itu menjelaskan bagaimana rekan prianya biasa membual tentang hal itu.
“Ketika (penjaga pria) sedang minum-minum di malam hari, polisi akan saling menceritakan bagaimana mereka memperkosa dan menyiksa gadis-gadis,” kata Sidik kepada CNN dari rumah barunya di Belanda.
Seorang etnis Uzbek, Sidik tumbuh di Xinjiang dan mengajar anak-anak SD berusia enam sampai 13 tahun selama 28 tahun. Pada September 2016, dia dipanggil untuk sebuah menghadiri sebuah pertemuan dengan Biro Pendidikan Distrik Saybagh dan diminta bekerja dengan para “buta huruf.”
Pada Maret 2017, dia bertemu para murid baru – sekitar 100 laki-laki dan beberapa perempuan.
Mereka masuk, kaki dan tangan mereka diborgol,” kisahnya.
Pada pelajaran pertama, Sidik mengatakan dia menoleh ke papan tulis hanya untuk mendengar para tahanan di belakangnya menangis.
“Saya menoleh sedikit, saya melihat air mata mereka jatuh di janggut mereka, para tahanan perempuan menangis dengan keras,” kisahnya.
Tahanan yang masih muda yang tiba di pusat-pusat tersebut “bugar, kuat dan bermata cerah” dengan cepat menjadi sakit dan lemah. Dari ruang kelasnya di basement salah satu kamp, Sidik mengaku bisa mendengar teriakan.
Ketika dia bertanya tentang tangisan itu, dia mengaku seorang polisi laki-laki mengatakan kepadanya bahwa tahanan sedang disiksa.
“Selama saya mengajar di sana, saya menyaksikan tragedi yang mengerikan,” kata Sidik.
CNN tak punya cara memverifikasi pengakuan Sidik dari dalam pusat kamp. Namun, mantan tahanan Xinjiang telah mengungkapkan kepada CNN mereka ditargetkan untuk penyiksaan dan indoktrinasi politik, dan warga Uighur yang sekarang tinggal di luar negeri menngatakan keluarganya menghilang dalam tahanan.
Dokumen yang bocor yang diberikan kepada CNN menunjukkan Uighur bisa dikirim ke kamp hanya karena berjanggut dan memakai jilbab.
Pemerintah China mengklaim kamp merupakan pusat pelatihan vokasi, merupakan program pemerintah untuk mencegah ekstremisme Islamis dan menciptakan lapangan pekerjaan.
“Tidak ada ‘penangkapan ribuan Muslim Uyghur’,” kata Xu Guixiang, juru bicara departemen publisitas Partai Komunis di Xinjiang, pada konferensi pers pemerintah pada 1 Februari.
“Apa yang telah kami tindak lanjuti, menurut undang-undang, adalah beberapa pemimpin dan tulang punggung kelompok ekstremis yang keji dan keras kepala. Apa yang telah kami selamatkan adalah mereka yang telah terinfeksi ekstremisme agama dan melakukan kejahatan kecil.”
Tursunay Ziyawudun mengatakan dia tak melakukan kejahatan apapun ketika dia pertama kali ditahan pada April 2017, setelah pulang ke Xinyuan County, Xinjiang untuk mengambil dokumen resmi. Dia dan suaminya telah tinggal selama lima tahun di Kazakhstan.
Suaminya, Halmirza Halik, seorang etnis Kazakh, tak ditahan dan mencarinya ke Sekolah Vokasi Xinyuan.
Kami berbicara melalui gerbang besi sekolah,” kaya Halik, melalui telepon kepada CNN dari Kazakhstan.
“Dia menangis setelah melihat saya. Saya katakan padanya jangan takut. Kamu belum pernah melanggar hukum dan tak ada yang perlu dikhawatirkan.
Pihak berwenang membebaskan Ziyawudun setelah sebulan di tahanan, tapi kemudian dia dipanggil lagi ke kamp pada Maret 2018, yang dia klaim sebagai awla mulai mimpi buruk selama sembilan bulan.
Kepada CNN dari AS, Ziyawudun mengatakan dia dibawa ke sel berisi sekitar 20 perempuan, di mana mereka diberi sedikit makanan dan air dan hanya diizinkan menggunakan toilet sehari sekali hanya dalam tiga sampai lima menit. Lebih dari itu, mereka akan disetrum menggunakan tongkat kejut.
Selama penahanannya, Ziyawudun mengatakan penjaga menginterogasinya tentang tahun-tahun selama dia tinggal di Kazakhstan, ditanya apakah dia memiliki hubungan dengan kelompok orang buangan Uighur.
Dalam salah satu sesi interogasi, polisi menendangnya dan memukulnya sampai pingsan. Lain waktu, di saat dia masih memar karena dipukul, Ziyawudun dibawa dua penjaga perempuan ke ruangan lain di mana dia dibaringkan di atas sebuah meja.
“Mereka memasukkan tongkat kejut ke dalam tubuh saya dan memelintir serta menyetrum saya dengan itu. Saya pingsan,” kisahnya.
Sepuluh hari kemudian, dia mengatakan sekelompok penjaga pria membawanya keluar dari selnya.
Siksaan Tanpa Henti
“Di kamar sebelah saya mendengar seorang gadis lain menangis dan menjerit. Saya melihat sekitar lima atau enam pria masuk ke kamar itu. Saya pikir mereka menyiksanya. Tapi kemudian saya diperkosa secara beramai-ramai. Setelah itu saya menyadari apa yang juga mereka lakukan padanya,” cerita Ziyawudun sambil menangis.
Dia mengatakan itu terjadi beberapa kali saat dia ditahan di kamp.
“Mereka sangat sadis, menyebabkan rasa sakit dan kerusakan pada tubuh dengan memukuli dan membenturkan kepala saya ke dinding, itu adalah cara mereka menghukum kami.”
Pengakuan pemerkosaan dan penyiksaan Ziyawudun ini pertama kali dilaporkan BBC. CNN secara independen tak bisa memverifikasi pengakuan Ziyawudun, tapi pengakuan tersebut mirip dengan pengakuan Gulbakhar Jalilova, seorang etnis Uighur dari Kazakhstan.
Kepada CNN pada Juli 2020, Jalilova dipenjara dalam ruangan yang berisi sekitar 20 perempuan lain setelah dia ditangkap pada Mei 2017.
Jalilova mengatakan melawan salah satu penjaga yang melecehkannya.
“Saya katakan padanya, ‘Apakah kamu tidak malu? Tidakkah kamu punya ibu, saudara perempuan, bagaimana kamu bisa melakukan ini pada saya?’ Dia memukulku dengan alat setrum dan mengatakan, ‘Kamu tak seperti seorang manusia’,” ceritanya.
Pada malam 26 September 2019, setelah diperingatkan pihak berwenang China agar tidak menceritakan pengalamannya di dalam tahanan, Ziyawudun menyeberangi perbatasan Kazakhstan untuk menunggu suaminya.
Melukai Vagina
Tetapi di hari-hari berikutnya, kesehatan Ziyawudun memburuk, dan dia mengalami pendarahan di vagina.
Pada 2020, Ziyawudun diterbangkan ke AS untuk perawatan medis. Tak lama setelah kedatangannya, dokter mengangkat rahimnya, dengan catatan medis yang dilihat oleh CNN menunjukkan dia didiagnosis menderita abses panggul dan pendarahan vagina, serta tuberkulosis.
Dia menyalahkan komplikasi medisnya pada perlakuan yang diterimanya di kamp Xinjiang, meskipun CNN tidak dapat memverifikasi kesimpulan ini.
“(Setelah dia keluar) dia tidak memberi tahu saya apa pun tentang pengalamannya di kamp,” kata Halik.
“Kadang-kadang dia menangis di malam hari dan saya sangat marah. Saya tahu bahwa hal-hal yang dia alami ini tidak baik, tetapi saya tidak berani bertanya.”
Dalam sebuah pernyataan kepada CNN, Kementerian Luar Negeri China tidak menanggapi pengakuan ketiga perempuan tersebut secara langsung melainkan mengeluarkan bantahan yang panjang.
“Kami berharap media yang relevan dapat membedakan yang benar dari yang salah, tidak tertipu dan disesatkan oleh berita palsu dan laporan yang bias,” jelasnya, seraya menambahkan pusat pelatihan mereka “melindungi hak-hak dasar para peserta pelatihan termasuk perempuan dari pelecehan, dan dilarang keras menghina dan menyiksa peserta pelatihan dengan cara apa pun.”
Pemerintah Daerah Otonomi Xinjiang Uighur belum menanggapi permintaan komentar.
Dalam konferensi pers pada 3 Februari, pejabat China memperkenalkan beberapa perempuan etnis minoritas yang mereka katakan telah “lulus” dari sistem, dan “berbagi bagaimana mereka menyingkirkan pemikiran ekstrem.”
Tindakan Memalukan
Mereka juga mengatakan laporan pemerkosaan massal dan KB paksa adalah “omong kosong belaka” dan media pemerintah berusaha mendiskreditkan klaim para perempuan tersebut.
Misalnya, dalam sebuah artikel yang diterbitkan pada 10 Februari, Global Times menuduh Gulbakhar Jalilova sebagai “seorang aktor” dan Tursunay Ziyawudun berbohong tentang sterilisasi paksa, mengutip seorang pejabat senior yang mengatakan bahwa “semua anggota keluarganya tahu bahwa dia pada dasarnya mandul.”
Ziyawudun mengatakan kepada CNN, dia melakukan pemasangan IUD paksa, bukan sterilisasi. Ziyawudun mengatakan dia tidak punya alasan untuk mengarang cerita.
“Saya seorang perempuan berusia empat puluhan. Apakah menurut Anda ini adalah sesuatu yang dapat saya banggakan untuk dibagikan kepada dunia?” kata dia.
“Saya akan mengatakan kepada mereka bahwa saya tidak takut lagi pada mereka, karena mereka telah membunuh jiwa saya.”
Sementara itu, Sidik, sang guru, mengatakan dia diberitahu oleh suaminya bahwa pejabat pemerintah mendatangi rumahnya dan membimbingnya selama empat jam tentang cara merekam video pendek yang menyangkal klaim istrinya berada di pusat penahanan.
Dia mengatakan suaminya menyuruhnya untuk tidak pernah kembali ke Xinjiang.
“Dia memblokir saya lagi di WeChat, saya tidak tahu, apakah dia hidup atau mati sekarang?” (hadi)