Sidoarjo – cakrajatim.com: Setelah lama bergulat untuk melegalkan status kependudukan dan hak politik warga desa yang tenggelam lumpur Lapindo, akhirnya tuntas sudah tugas DPRD dan Pemkab dengan disahkannya Raperda Penggabungan Desa, minggu lalu.
Ketua DPRD Sidoarjo, Haji Usman, merasa plong dengan penggabungan desa yang sejak tahun 2006 ditenggelamkan lumpur Lapindo. “Setelah selesai mengesahkan Perda penggabungan kelurahan, sekarang kita sudah sahkan Raperda penggabungan desa sekitar lumpur lapindo,” Ujarnya di rumah dinas.
Raperda penggabungan desa yang disahkan sebagai berikut:
a. Desa Renokenongo Kecamatan Porong digabung dengan Desa
Glagaharum dan menjadi Desa Glagaharum Kecamatan Porong seluas 344,42 Ha.
b. Desa Besuki Kecamatan Jabon digabung dengan Desa Dukuhsari dan menjadi Desa Dukuhsari Kecamatan Jabon seluas 221,23Ha.
C. Desa Pejarakan Kecamatan Jabon digabung dengan Desa
Kedungcangkring dan menjadi Desa Kedungcangkring Kecamatan Jabon seluas 236,94 Ha;
d. Desa Kedungbendo digabung dengan Desa Ketapang
Kecamatan Tanggulangin menjadi Desa Ketapang seluas 292,21 Ha.
Batas administrasi setiap desa hasil penggabungan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), tercantum dalam Lampiran I, Lampiran 1l, Lampiran 111,
ampiran |V yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan.
Berdasarkan kajian mengenai penghapusan dan penggabungan wilayah terdampak lumpur Sidoarjo, disebutkan ada tiga kebutuhan masyarakat yang perlu diperhatikan. Di Tanggulangin misalnya, sebagian besar warga masih menginginkan desa mereka dipertahankan meskipun ada bagian wilayah yang terendam lumpur. Namun, sebagian besar penduduk telah pindah, sehingga sistem pemerintahan desa sudah tidak bisa berlaku secara normal.
Masalah pendudukan juga menjadi persoalan bagi warga yang telah pindah. Mereka merasa sulit untuk mengurus semua urusan administrasi dengan jarak yang jauh. Pemindahan kependudukan menjadi sulit karena masih terdapat masalah teknis seperti ganti rugi atas beberapa Tanah Kas Desa (TKD) dan aset yang belum jelas, sehingga warga merasa dirugikan.
Anggota Pansus, Adhi Samsetyo mengatakan, beberapa desa tersebut, diantaranya Desa Besuki yang digabungkan dengan Desa Dukuhsari, Desa Pejarakan yang bergabung dengan Kedungcangkring, dimana keduanya masuk wilayah Kecamatan Jabon.
Desa Renokenongo yang digabung dengan Desa Glagaharum-Kecamatan Porong dan Desa Kedungbendo yang digabung dengan Desa Ketapang-Kecamatan Tanggulangin.
Penggabungan keempat desa tersebut telah diputuskan dalam rapat paripurna Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Sidoarjo.
H. Damroni Chudlori, Ketua Panitia Khusus (Pansus) 18 tentang penggabungan desa terdampak lumpur DPRD Kabupaten Sidoarjo mengatakan bahwa pengesahan Peraturan Daerah (Perda) Sidoarjo tentang penggabungan desa terdampak lumpur tersebut merupakan payung hukum bagi masyarakat di desa-desa itu.
Ia mengakui bahwa dengan adanya Perda tersebut tidak serta merta menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang dialami oleh warga terdampak lumpur panas di tiga kecamatan itu.
“Namun setidaknya, mereka sudah memiliki status di desa yang baru. Begitu juga dengan hak politiknya di Pemilu (Pemilihan Umum, red) 2024 nanti, secara otomatis ter-update ke desa yang baru,” katanya.
Politisi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) itu akan terus mengawal permasalahan terkait dampak lumpur di tiga kecamatan itu, khususnya permasalahan aset, baik aset milik desa ataupun aset milik Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Sidoarjo.
Karena hingga saat ini masih banyak aset yang terendam lumpur belum mendapatkan ganti rugi dari Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) maupun dari PT. Minarak Lapindo, baik berupa jalan desa, masjid, musholla, sekolahan dan aset-aset lainnya.
”Kami akan perjuangkan itu. Minta ganti ruginya ke BPLS dan Minarak,” tegasnya
Menurut Damroni bahwa saat ini Pemerintah Desa (Pemdes) yang terdampak lumpur sedang menyiapkan bukti-bukti kepemilikan aset tersebut, bahkan sebagian besar bukti-bukti kepemilikan aset itu sudah ada atau dipersiapkan.
Tidak hanya itu saja, pihaknya juga meminta Pemdes dan Pemkab Sidoarjo untuk menggunakan pelacak virtual agar bisa menelusuri tempat-tempat yang sebelumnya terendam lumpur panas tersebut.
”Masih ada bentuknya pada 2006 lalu. Saksi-saksi hidup mungkin juga masih ada,” terang politisi asal Tulangan itu.
Wakil Ketua Dewan Pimpinan Cabang (DPC) PKB Sidoarjo itu juga akan memperjuangkan peningkatan nilai dana desa (DD) untuk desa induk atau desa hasil penggabungan tersebut, karena secara otomatis jumlah penduduk di desa induk akan naik secara drastis
Menurut Damroni bahwa saat ini Pemerintah Desa (Pemdes) yang terdampak lumpur sedang menyiapkan bukti-bukti kepemilikan aset tersebut, bahkan sebagian besar bukti-bukti kepemilikan aset itu sudah ada atau dipersiapkan.
Tidak hanya itu saja, pihaknya juga meminta Pemdes dan Pemkab Sidoarjo untuk menggunakan pelacak virtual agar bisa menelusuri tempat-tempat yang sebelumnya terendam lumpur panas tersebut.
Ia juga akan memperjuangkan peningkatan nilai dana desa (DD) untuk desa induk atau desa hasil penggabungan tersebut, karena secara otomatis jumlah penduduk di desa induk akan naik secara drastis.
DPRD, lewat juru bicara panitia khusus (pansus) raperda, M. Agil Effendi menyatakan eksekutif diharapkan segera menindaklanjuti pelaksanaan perda tersebut. Sebab, perda ini terkait beberapa hal penting. Selain penggabungan desa, ada pelayanan administrasi kependudukan dan dana desa (DD) yang tidak terserap.”Supaya warga desa segera mendapat pelayanan yang baik,” katanya.
Bupati Ahmad Muhdlor Ali menyampaikan ucapan terima kasih dan apresiasi kepada DPRD yang telah menyetujui raperda menjadi perda tentang penggabungan desa tersebut. Penggabungan desa merupakan upaya mengatasi beragam masalah akibat semburan lumpur panas. Baik masalah sosial, ekonomi, pendidikan, kesehatan, serta pelayanan publik lainnya.
Bupati menyebut penyusunan Raperda ini sebagai upaya mengatasi berbagai permasalahan terkait bencana lumpur yang menggenangi beberapa desa Kabupaten Sidoarjo.
“Di antaranya permasalahan sosial, politik, ekonomi serta lumpuhnya pelayanan pemerintahan. Baik di bidang pendidikan, kesehatan, maupun administrasi kewilayahan yang dilaksanakan oleh pemerintah desa,” paparnya.
Selain itu, sambung Muhdlor, peraturan ini untuk menindaklankjuti Kepmendagri nomor 100.1/6117/2022 tentang pemberian dan pemutakhiran kode data wilayah dan administrasi pemerintahan dan pulau.
“Dengan pertimbangan itu, maka kode wilayah desa yang terdampak lumpur dihapus dan diubah menjadi kode wilayah pada desa induk. Sehingga, diperlukan kebijakan untuk menjamin kepastian hukum dan eksistensi desa yang diwujudkan dalam Raperda,” ucapnya.
“Penyusunan Raperda ini telah melalui beberapa tahapan pembahasan antara eksekutif dan legislatif dengan melibatkan tenaga ahli,” tambah pria yang akrab disapa Gus Muhdlor .
Sebelum ini, penggabungan wilayah juga pernah dilakukan terhadap kelurahan-kelurahan korban lumpur pada 2021. Di antaranya, Kelurahan Siring, Jatirejo, dan Gedang yang digabung menjadi Kelurahan Gedang. Juga wilayah Kelurahan Mindi dan Porong yang digabung menjadi Kelurahan Porong. (Adv, hd)