Setelah Sindo, Tempo dan Indopos, kali ini ‘Suara Pembaruan’ mengumumkan tidak terbit mulai 1 februari 2021. Gelombang penjajahan oleh covid 19 menjadi dasar tidak terbitnya koran sore tersebut.
Suara pembaruan tidak mampu mempertahankan penerbitannya bukan kalah bersaing dengan kompetitor sesama koran tapi tumbang karena keganasan covid dan tentu saja kalah melawan media dengan platform digital
Secara kualitas berita, koran sore ini masih layak dan menjadi referensi pembacanya. Namun setelah oplahnya turun tajam. Iklan merosot sementara beaya produksi meningkat membuat ngos2an.
Suara pembaruan pertamakali diterbitkan tahun 1987 merupakan reinkarnasi harian sore Sinar Harapan. Sinar Harapan yang didirikan HG Rorimpandey merupakan koran terbesar kedua setelah kompas. Kekritisan Sinar Harapan kerap membuat telinga orde baru panas sehingga dibredel tahun 1986.
Lalu mantan wartawannya mendirikan Suara Pembaruan tahun 1987 dengan format dan lay out serupa dengan almarhum Sinar Harapan. Sebagai koran sore, masa edarnya amat terbatas yakni pada sore sampai subuh.
Koran ini sebetulnya sudah megap – megap sejak berdirinya. Tidak mampu berkembang seperti pendahulunya Sinar Harapan. Kantor cabangnya di daerah2 bertahan beberapa tahun dan setelah itu operasional ditutup.
Suara pembaruan hanya diedarkan di Jakarta dan sekitarnya. Sebagian personil seniornya ke luar dan melahirkan kembali Sinar Harapan setelah reformasi 1998. Dua koran sore yang masih bersaudara ini bertarung di segmen yang sama yakni mencari pembaca di sore hari. Keduanya sama2 babak belur. Karuan saja tak berselang lama Sinar Harapan tidak terbit.
Dan Suara Pembaruan ikut menyusul dengan tidak terbit mulai 1 februari 2021.
Kerugian besar yang dialami adalah hilangnya brand nama besar koran2 ini. Brand adalah aset paling berharga dari sebuah bisnis. karena brand itu diperjuangkan berpuluh tahun. Dulu pernah ada koran daerah berskala nasional ‘Surabaya Post ‘.
Koran sore asal Surabaya ini tutup bukan karena virus corona atau karena tergilas internet tetapi karena tidak mampu berkompetisi dengan pesaingnya Jawa Pos dan Surya. Saat itu Jawa Pos menjadi raja koran daerah bahkan nasional hingga kini. Namun sejak maraknya medsos, media online membuat Jawa Pos mulai kelimpungan. Halamannya dikurangi. Dan merasionalisasi jumlah karyawannya dengan pesangon.
Apa yang bisa dilihat dari cerita ini, ternyata koran lokal lebih kebal terhadap virus corona daripada koran nasional. Di Jatim ada 4 atau 6 koran lokal yang survive hingga kini. Dapur manajemen media kuat imun (dan biarlah itu menjadi rahasia dan strategi mereka untuk bertahan hidup). Untuk saat ini media lokal hanya mengandalkan sumber pendapatan dari iklan pemerintah pemkab/pemkot/pemprov. Iklan swasta..ah jangan berharap.
Bersyukurlah sumber iklan masih eksis hingga sekarang. Entahlah bagaimana nasib media lokal bila iklan pemerintah di stop. Sementara mengharapkan Iklan swasta banyak tersedot ke televisi dan youtube. .
Di era kini media lokal harus berbaik – baik dengan pemerintah daerah. Karena ini merupakan jalan pintas untuk bertahan hidup. Wassalam….hadi