Anggota DPRD Jatim ini dengan lantang di pertemuan jaring aspirasi masyarakat (Jasmas) menanyakan kenapa Kades menolak bantuan Jasmas untuk desanya.
Kades yang ikut dalam pertemuan terlihat tidak merespon pertanyaan itu. Padahal kalau diterima, lumayan nilai Jasmas per paketnya dikisaran Rp 200 juta.
Dengan lagak seperti sinterklas, oknum ini menawarkan hak politiknya untuk “membantu” Desa melalui program Jasmas. Sebuah program andalan wakil rakyat.
Ujungnya ternyata ada maunya. Kades itu menolak karena ada potongan fee 35%. Jadi desa hanya Terima Rp 130 juta dari kuitansi tanda Terima yang ditandatangi sebesar Rp 200 juta. Kalau begitu kades ini benar-benar cerdas menolak bantuan yang bermotif.
Modusnya begitu bantuan Jasmas masuk ke rekening desa, sudah ada tim oknum dewan itu menjemput Rp 70 jutanya (35%) sesuai kesepakatan gelap yang diatur sebelumnya dan uang masuk kantong pribadi. Untungnya Kades dengan tegas menolak tawaran itu.
Sebenarnya pola ini bukan rahasia lagi, aroma nya sudah tercium di mana-mana. Sudah terjadi lama dan polanya selalu sama. Menawarkan bantuan Jasmas lalu ada udang dibalik batu.
Tidak semua wakil rakyat berperilaku seperti itu, masih banyak anggota dewan yang punya nurani dan moral tulus membantu desa. Tapi gara-gara secuil orang maka yang lain kena getahnya.
Bolehlah ada fee tapi ngono yo ngono. Ning ojo ngono. Yang wajar-wajar saja. Janganlah menentukan tarif apalagi sampai 35%. Kata oma irama “terlalu”
Melalui tulisan ini saya mengajak semua desa di Sidoarjo menolak bantuan Jasmas yang bermotif mencari fee atau komisi dari oknum anggota dewan bila nilai fee potongan itu fantastis. Itu sama saja desa memperkaya oknum anggota dewan yang sejatinya sudah kaya raya.
Kebiasaan itu akan menjadi budaya yang merusak tatanan dalam masyarakat. Dan bila Anda lengah dan bernasib buruk sehingga tercium aparat penegak hukum, akan bisa menjadi peristiwa pidana. Sebelum terlambat, jauhi hal buruk itu.