Sidoarjo-cakrajatim.com
El Nino terbukti memicu dampak besar terhadap kehidupan di bumi, yakni gelombang panas yang memicu kekeringan. Tercatat oleh National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA).
bulan Juni 2023 kemarin merupakan bulan terpanas dalam 174 tahun.
Ada sembilan siklon tropis pada bulan Juni, berwujud badai dengan kecepatan angin lebih dari 74 mil per jam. Pemantauan terbaru Organisasi Meteorologi Dunia atau WMO mencatat adanya peluang terjadinya El Nino tahun ini dalam kategori kuat sehingga dampaknya bisa lebih besar. Kenaikan suhu permukaan laut di bagian timur Samudra Pasifik, akan mengirim gelombang panas yang berpotensi menurunkan produksi padi dan mengganggu stabilitas harga pangan.
El Nino merupakan fenomena pemanasan Suhu Muka Laut (SML) di atas kondisi normal, terjadi di Samudera Pasifik bagian tengah hingga timur. Pemanasan ini meningkatkan potensi pertumbuhan awan di Samudera Pasifik tengah dan mengurangi curah hujan di wilayah sekitarnya, termasuk Indonesia. Beberapa negara di kawasan Amerika Latin seperti Peru, berdampak meningkatnya curah hujan, sebaliknya di Indonesia justru kering dan berkurangnya curah hujan.
Studi National Science Foundation (NSF), memperkirakan El Nino menggerus triliunan dollar AS pendapatan di seluruh dunia. Sejak El Nino 1982-83 dan 1997-98 ditemukan kecenderungan pertumbuhan ekonomi global yang melambat sebesar US$ 4,1 triliun dan US$ 5,7 triliun, sebagian besar ditanggung oleh negara-negara tropis termiskin di dunia.
Diperkirakan El Niño tahun 2023 saja kalau benar terjadi dapat menahan ekonomi global sebesar US$3 triliun.
Krisis Pangan
Di Indonesia sendiri, sektor pertanian akan meradang karena sebagai negara agraris perekonomian masih bergantung sektor pertanian. El Nino dapat mengganggu pola cuaca yang menurunkan produksi pertanian dan kesejahteraan petani. Kekeringan panjang dapat mengurangi produktivitas pertanian dan menyebabkan penurunan pasokan pangan. Hal ini dapat memicu krisis pangan di beberapa wilayah Indonesia.
Produksi padi pada 2023 ini turun sekitar 2 juta ton gabah kering giling. Pada 2019 saja ketika Indonesia menghadapi El Nino, produksi padi turun 7,7% ke 54,6 juta ton.
Dampak negatif El Nino lainnya adalah munculnya berbagai penyakit, seperti kolera, dehidrasi, diare, panas, dan sebagainya. Juga bisa memicu sakit mata karena udara kering serta berdebu. Polusi udara juga meningkat karena minim hujan, padahal hujan bisa membilas polutan. Nah karena manusia bernafas, polutan udara akan merusak paru dan saluran pernafasan.
El Nino menyebabkan perubahan suhu dan memicu kekeringan, sehingga kemarau akan lebih lama. Wilayah yang terkena berada di garis khatulistiwa yang merupakan jalur angin pasat.
El Nino juga pernah menyebabkan kekeringan panjang di Indonesia yang memicu kebakaran hutan.
Kebakaran parah terjadi pada 1977, menimbulkan kabut asap polusi udara yang menyebar hingga ke negara tetangga.
Secara umum, El Nino ditandai dengan gejala alam melemahnya angin pasat dari arah timur; suhu udara meningkat dibanding suhu normal. Tanda lainnya curah hujan rendah di dekat Papua (Indonesia), dan sebaliknya curah hujan tinggi di dekat Peru, Amerika Selatan.
Beda dengan La Nina
Kekeringan El Nino berbanding terbalik dengan La Nina yang justru cenderung meningkatkan curah hujan di wilayah Indonesia. Sumber air akan melimpah, kebutuhan irigasi berlebih sehingga produktivitas pertanian meningkat.
La Nina juga dapat meningkatkan produktivitas ekosistem laut karena meningkatkan populasi ikan. Namun curah hujan yang ekstrem menyebabkan banjir dan longsor, merusak infrastruktur, mengancam keselamatan, dan menyebabkan kerugian ekonomi.
Pun cuaca buruk dan gelombang pasang akibat La Nina dapat mengganggu transportasi darat, laut, dan udara.
(dya)