Sidoarjo. Cakrajatim.com : Presiden Joko Widodo sejak Selasa lalu berada di Afrika Selatan. Lawatan ke benua hitam itu menjadi sangat strategis dan penting, karena kehadiran Presiden Indonesia akan bermakna luas.
Presiden menghadiri KTT (Konferensi Tingkat Tinggi) BRICS di Afrika Selatan. Kehadirannya disebut ‘hanya memenuhi undangan’ sebagai tamu, dalam kapasitas Indonesia pemegang keketuaan ASEAN. Tidak ada kaitan sama sekali dengan status keanggotaan Indonesia di BRICS.
BRICS adalah aliansi dagang yang melibatkan Brasil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan. Aliansi ini diharapkan mampu menjadi simbol kekuatan Asia-Afrika. Upaya melepaskan diri dari dominasi kekuatan ekonomi Amerika dan Eropa Barat.
Negara-negara ingin bergabung dengan BRICS untuk menjalin kemitraan timbal balik yang tidak menjadikan mereka tunduk pada negara adidaya. Pernyataan itu diungkap Menteri Pekerjaan Umum dan Infrastruktur Afrika Selatan Sihle Zikalala. Mayoritas negara-negara di dunia mendambakan platform di mana mereka dapat bekerja sama pada tingkat yang saling menguntungkan tanpa didominasi oleh negara-negara adidaya. ‘’Itu sebabnya banyak orang ingin bergabung dengan BRICS,” ujar Zikalala di Johannesburg.
Dari Afrika Selatan beredar kabar Indonesia akan bergabung dengan BRICS, bersama 12 negara lainnya yakni Arab Saudi, Venezuela, Iran, Meksiko, dan Argentina. Perekonomian BRICS mencakup lebih dari 40% dari populasi dunia dan hampir seperempat dari produk domestik bruto global.
BRICS mencanangkan agenda besar melawan pengaruh Barat, antara lain akan memberlakukan mata uang baru untuk melawan dolar AS yang mendominasi global. Dengan cara itu negara-negara dapat melakukan perdagangan mata uang nasional atau membuat mata uang BRICS bersama.
Meksiko Tertarik
Kekuatan negara-negara BRICS kini telah menyalip G7 dalam hal PDB global . G7 mencakup Kanada, Prancis, Jerman, Italia, Jepang, Inggris, dan Amerika Serikat, serta Uni Eropa. BRICS terus berkembang diikuti Bangladesh, Mesir, dan Uni Emirat Arab (UEA) baru saja bergabung dengan New Development Bank atau Bank Pembangunan Baru BRICS. Banyak negara lain dikabarkan siap melakukan hal yang sama.
Bahkan Meksiko yang telah lama menjadi bagian dari blok perdagangan bebas Amerika Utara NAFTA, (kini digantikan oleh perjanjian Kanada-Amerika Serikat-Meksiko -CUSMA), juga berminat gabung dengan BRICS. Hubungan Meksiko dengan AS menggambarkan Negara-negara di perbatasan Amerika meragukan kemampuan AS berdagang secara adil dan merata.
Lima negara BRICS saat ini menyumbang 31,5% dari PDB global, sementara pangsa G7 turun menjadi 30%. BRICS diperkirakan akan menyumbang lebih dari 50% PDB global pada tahun 2030. PDB China telah melampaui PDB Amerika Serikat (AS) pada 2015.
Akan halnya G7, termasuk Uni Eropa dan Amerika Serikat kehilangan pengaruh, disebabkan berbagai masalah termasuk ketidakpercayaan terhadap kebijakan luar negeri AS. Masalah lainnya keserakahan Uni Eropa di pasar global, dan kebencian yang sejarah kolonialisme warisan Eropa.
Perubahan mendasar lainnya adalah struktur basis global unilateral yang dipimpin AS, beralih ke basis multipolar yang dipimpin oleh negara-negara BRICS utama. Keberadaan BRICS juga akan mereformasi berbagai lembaga global. Termasuk struktur Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) kepemilikan saham di Bank Dunia dan IMF, serta keanggotaan pada badan-badan global seperti WTO dan WHO.
Bahkan Presiden Rusia Vladimir Putin menegaskan ‘’De-dolarisasi’’ akan berkembang menjadi tekanan yang semakin besar pada G7 untuk melepaskan kendali. Mengutip Global Times, medan perang geopolitik selama sisa dekade ini akan menjadi semakin partisan, dengan bahaya perpecahan global yang terjadi kecuali jika Barat dapat menemukan cara untuk mengakomodasi China, Rusia, dan tatanan global baru. (ts)